Semalam kami sibuk membereskan koper hingga dini hari, membuat kami akhirnya bangun kesiangan hari itu. Yap, hari itu adalah penutup delapan hari petualangan kami (saya dan sahabat) di Jepang, dan kami putuskan menghabiskan hari terakhir kami di Kyoto, menyambangi spot-spot turis yang tak sempat kami sambangi pada dua hari sebelumnya.
Tak seperti saat menghabiskan senja di Kyoto dua hari sebelumnya, hari itu sang surya tak segan membiaskan cahayanya ke seantero Kyoto. Ramalan cuaca hari itu memang cerah seharian, jadi saya tinggalkan payung 100 yen saya di apartemen. Seharian berkeliling Kyoto kami memanfaatkan Kyoto Bus Pass seharga 600 yen. Pass ini dapat digunakan untuk menaiki bis secara unlimited selama seharian penuh. Dari informasi yang saya baca, spot-spot turis dapat dijangkau dengan mudah menggunakan bis, jadi tidak perlu pusing mengeluarkan ongkos selama di Kyoto, cukup berbekal Kyoto Bus Pass saja.
—
Sagano Romantic Train – Perjalanan kami di Kyoto hari itu dibuka dengan menaiki Sagano romantic train. Dua puluh lima menit perjalanan menyusuri ngarai Hozugawa ditempuh menggunakan kereta kuno, berangkat dari stasiun Saga menuju stasiun Kameoka. Untuk menuju stasiun Saga, kami naik bis dari stasiun Kyoto dan turun di halte Arashiyama, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jembatan Togetsu.

- Sumber: http://www.japan-guide.com
“The journey not the arrival matters” – T.S. Eliot
Bukan tentang tujuannya, tapi tentang perjalanannya, bukankah itu makna traveling? Mungkin perjalanan menggunakan Sagano romantic train dapat menggambarkan kondisi itu. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan ngarai yang cantik sekali. Sungai Hozugawa yang berwarna biru muda, dipadukan dengan pepohonan hijau di sekitarnya, menciptakan perpaduan alam yang begitu mempesona. Apalagi jika perjalanan dilakukan saat musim mekar-mekarnya sakura, atau saat dedaunan berubah kemerahan di musim gugur, pasti lebih romantis seperti namanya, romantic train.

Setibanya di Kameoka, sebenarnya saya sangat ingin berkeliling menggunakan sepeda. Banyak tempat penyewaan sepeda tak jauh dari stasiun. Pemandangannya tak kalah indah, lengkap dengan pemukiman warga. Membayangkan bersepeda di pemukiman warga saja sudah menyenangkan, apalagi kalau terlaksana. Sayang kami harus mengurungkan niat tersebut karena keterbatasan waktu. Pengunjung dapat kembali menggunakan Sagano romantic train lagi, menggunakan Hozugawa river boat, atau seperti pilihan kami, menggunakan kereta JR dari stasiun Kameoka menuju stasiun Arashiyama. Dari stasiun Arashiyama, kami melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya, yaitu Arashiyama Bamboo Grove dengan berjalan kaki.

Tiket Sagano romantic train kami beli lewat aplikasi Klook karena takut kehabisan. Tapi ternyata antrian di loket tidak terlalu panjang, mungkin karena memang kami datang saat musim liburan telah usai. Yap, kami datang hanya beberapa hari setelah golden week usai.
—
Arashiyama Bamboo Groove – Sepertinya banyak orang akan merasakan deja vu saat melihat Arashiyama bamboo groove. Yap, foto-foto hutan bambu ini banyak beredar di internet. Selama kurang lebih satu jam, kami menyusuri jalur setapak di dalam hutan bambu. Walaupun di Indonesia bambu sering dikaitkan dengan hal mistis, sebaliknya saya merasakan ketenangan ketika berjalan menyusuri jalan setapak itu.

Bagi yang lelah berjalan, atau memang ingin mencoba sensasi naik becak khas Jepang, dapat menggunakan jasa jinrikisha. Jin berarti manusia, riki berarti kekuatan atau tenaga, sha berarti kendaraan. Yap, jinrikisha adalah kendaraan yang ditarik oleh manusia, sebelas dua belas sama becak ya. Tapi perbedaannya, ‘tukang becak’ jinrikisha ini muda-muda dan berbadan kekar, jadi tidak ada perasaan gak tega gitu, hehe.
Setelah cukup berkeliling hutan bambu, kami melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya yakni Fushimi Inari Taisha. Cukup lelah berjalan, kami beristirahat sejenak di pinggir sungai dengan pemandangan jembatan Togetsu. What a beautiful scenery!


—
Fushimi Inari Taisha – Pertama kali saya melihat torii Fushimi Inari Taisha adalah dari soundtrack film Detective Conan Crossroad In the Ancient Capital, salah satu movie Conan favorit saya. Judul lagunya adalah Time After Time, pun menjadi salah satu soundtrack Conan favorit saya. Film itu diputar di salah satu saluran TV swasta saat saya masih duduk di bangku SD tahun 2000 awal, saat penggunaan internet masih sangat terbatas. Cuplikan gambar torii yang saya lihat itu tersimpan dalam ingatan hingga sekarang. Dan akhirnya berbelas-belas tahun kemudian, saya dapat melihat torii-torii itu secara langsung.. 🙂
Fushimi Inari Taisha memang kami jadikan sebagai destinasi wajib kami di Kyoto. Seandainya kami harus membuang beberapa destinasi karena keterbatasan waktu, Fushimi Inari tidak akan masuk ke dalam nominasi tersebut. Dengan kata lain, Fushimi Inari adalah salah satu destinasi prioritas kami.
Kami baru tiba di kuil Fushimi Inari hampir pukul setengah 6 sore. Seperti kuil Yasaka di Gion, tidak ada batasan jam berkunjung di kuil Fushimi Inari. Mungkin kuil ini sudah tak asing bagi kebanyakan orang. Rentetan torii gates yang membentuk sebuah jalur pendakian menuju hutan di gunung suci Inari ini kerap wara-wiri di berbagai macam media. Pertama datang kami disambut oleh gerbang utama kuil (Romon Gate), dan aula utama kuil (honden).

Masuk ke dalam, kami pun mulai menyusuri jalur pendakian. Cukup melelahkan memang, butuh stamina extra kalau ingin sampai ke puncak. Namun saya takjub, banyak lansia, mungkin usianya minimal 70 tahun, masih kuat mendaki. Malu rasanya kalau saya mengeluh capek. Setelah setengah jam mendaki, kami tiba di sebuah tempat untuk beristirahat, disuguhi pemandangan danau yang misterius namun anehnya menenangkan. Kami bertemu seorang ibu dari Philipina yang sudah menunggu anaknya mendaki selama 2 jam. Di sini saya berpisah dengan sahabat saya. Dia tetap di sana, sedangkan saya melanjutkan pendakian. Hari sudah mulai sedikit gelap, saya tiba di tempat beristirahat berikutnya. Dari tempat itu matahari terbenam terlihat sangat indah. Saya rasa cukup sampai di sini pendakian saya, sudah semakin gelap, dan saya tidak mau ambil resiko nyasar di gunung.. 😀

—
Sekitar pukul 7 malam kami pun mengakhiri perjalanan kami dan kembali ke stasiun Kyoto. Di dekat stasiun Kyoto kami mampir dahulu ke sebuah mall untuk membeli oleh-oleh. Tak terasa waktu sudah pukul 9 malam saat kami asyik berkeliling membeli oleh-oleh. Niat kami padahal mau pulang cepat hari itu karena keesokan harinya kami pulang ke Indonesia dengan pesawat pagi, tak mau ambil resiko bangun kesiangan. Tapi itu hanya sebatas niat, akhirnya tetap saja kami pulang naik kereta terakhir, Alhamdulillah esoknya kami bangun tepat waktu.. 😀