Pantai Santolo, Tujuh Jam Menegangkan dalam Tenda

Ini adalah sebuah kisah, tentang camping paling mendebarkan dan menegangkan dalam hidupku.


Rabu, 17 April 2019

“Gimana? Jadi mau berangkat malem ini?”, tanya Sana dalam sebuah grup chat yang hanya berisi tiga personil pecandu main. “Aku sih ayo”, jawabku. “Aku juga ayo”, jawab Itonk. “Okee, siap-siap sekarang ya, kita berangkat jam 10an”, kata Sana.

Seperti itulah kami, kalau mau main sukanya dadakan. Jam 8 memutuskan berangkat, jam 10 sudah berangkat.

Perjalanan kali ini adalah ke pantai Santolo di Garut. Selain kami bertiga, salah seorang teman kami yang sudah berkeluarga pun ikut, Yance namanya. Dia membawa serta istri dan anaknya. Jadi kami berangkat lima orang dewasa dan seorang balita. Dari awal, aku, Itonk dan Sana memang berencana camping. Namun karena ada balita, kami pun menyewa sebuah penginapan. Penginapan ini memang dimaksudkan untuk Yance dan keluarga saja, sementara kami bertiga akan camping di pinggir pantai.

Kamis, 18 April 2019

Pukul 04.30

Waktu menunjukkan kurang lebih pukul 04.30, bertepatan ketika adzan subuh berkumandang. Tibalah kami di pantai Santolo. Cuaca hari itu cukup mendung, dan air laut sedang pasang. Kalau kata calo penginapan kami, lautnya sedang berubah. Kalau orang Pangandaran bilang, lautnya sedang ‘beukah‘ katanya. Beukah adalah bahasa Sunda, yang artinya mengembang.

Tubuh yang lelah setelah perjalanan cukup panjang sudah meronta-ronta minta diistirahatkan. Selepas shalat subuh, kamipun tidur sebentar. Dua jam kami tidur, hingga akhirnya terbangun mendengar suara tangisan anak Yance yang tak sabar ingin main pasir 😀 😀

Pukul 08.00

Dari pantai Santolo, kita bisa menyeberang ke pulau Santolo menggunakan perahu dengan ongkos 5000 rupiah pergi-pulang. Jarak ke pulau dekat sekali, paling hanya 10 meter, baru duduk di perahu, sudah tiba di pulau. Setibanya di pulau, kami mencari pohon besar sebagai basecamp kami. Dari bawah pohon inilah kami menikmati panorama luar biasa ciptaan-Nya. Mata menerawang jauh ke garis horizon, sejenak pikiran kosong, tubuh dibelai lembut angin laut, dan telinga dimanjakan oleh suara ombak yang mendebur batu karang.

Pulau kosong, masih sepi pengunjung, mungkin karena saat itu masih pukul 8 pagi dan cuaca sedikit mendung, air laut pun masih pasang. Kami nikmati saja kesempatan ini, serasa berlibur di pulau pribadi. Pukul 9 air laut mulai surut, batu karang mulai menampakkan wujudnya, cuaca pun menjadi cerah, seolah alam berusaha mempertunjukkan pesonanya. Berhasil! Kami terpesona.

Istana pasir Pulau Santolo

Cuaca mendukung kami untuk bermain pasir dan air di bibir pantai. Setelah lelah bermain kami memesan hidangan laut di warung dekat basecamp kami. Yap, makanan terbaik ketika di laut yaa hidangan laut. Kami memesan udang lobster dan cumi bakar, nikmat sekali! Selepas makan kami tertidur. Ada yang tertidur di atas pasir, ada yang tertidur di atas hammock, kami semua tertidur, kecuali Yance yang harus menemani anaknya bermain 😀 . Sungguh tidur yang sangat berkualitas. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?

“Yu ah udah, kita siap-siap buat nanti malem ngecamp”, ucap Sana sekitar pukul 13.30. Kami pun kembali ke penginapan, mandi dan mempersiapkan keperluan kemah. Semua peralatan Sana yang bawa, tenda, matras, kompor, alat masak, lengkap sekali. Pukul 16.30 kami berangkat, dan membeli bahan masakan terlebih dahulu di warung dekat penginapan, ikan asin, telur, beras, dan lain sebagainya.

Pukul 17.00

Kami berjalan dan terus berjalan menyusuri bibir pantai ke arah utara, mencari tempat terbaik untuk mendirikan tenda, semakin jauh dari hiruk pikuk warung dan keramaian wisatawan yang sedang bermain air. Semakin ke utara, ombak semakin besar memang, sehingga makin sedikit wisatawan yang bermain air.

Semakin ke utara, ombak semakin besar

Cukup jauh berjalan, akhirnya kami pun menemukan tempat terbaik untuk mendirikan tenda. Tenda didirikan hanya sekitar 10 meter dari bibir pantai. Ketika sedang pasang, air laut sampai hanya berjarak 3 meter dari tenda kami. Setelah tenda berdiri, hari mulai gelap, kami membuat minuman hangat sambil mengobrol dan bersenda gurau. Itonk memasak, Yance membuat api unggun. Kami bergantian shalat dengan air wudhu seadanya. Kiblat mengarah ke laut, sensasi yang luar biasa memang shalat di pinggir pantai, apalagi menghadap laut. Selepas isya kami pun makan seadanya, nasi liwet, telur, dan ikan asin. Tapi jangan salah, dengan lauk seadanya pun terasa sangat nikmat. Kami pun menikmati sisa malam dengan bermain gitar sambil bernyanyi. Beruntungnya aku, masih dapat merasakan kenikmatan seperti ini.

Pukul 21.30

Mungkin sekitar pukul 21.30, Yance dan keluarga kembali menuju penginapan, tak tega kami kalau seorang balita harus ikut tidur dalam tenda. Tinggal kami bertiga, sambil menatap api unggun, kami lanjut bernyanyi. Setelah puas dan cukup lelah, kami pun berhenti bernyanyi. Sekitar pukul 22.00 kami mulai membereskan barang-barang dan bersiap untuk tidur.

Dan pengalaman menegangkan pun dimulai…

Bermula ketika kami sedang membereskan peralatan masak, aku melihat sebuah siluet manusia dalam kegelapan, di arah timur laut dari tenda kami. Aku memperhatikan sejenak, “itu orang bukan ya?”, pikirku dalam hati. Lalu aku memutuskan untuk tak mengindahkannya, dan lanjut membersihkan gelas. Tapi karena penasaran, aku melirik siluet itu sekali lagi. Kaget bukan main, ketika aku melirik, kepalanya bergerak menunduk. Aku langsung melompat mendekati Itonk yang sedang duduk di dalam tenda. “Ada orang Tonk”, kataku dengan nada kaget. Yang saat itu aku pikirkan, untuk apa seseorang bersembunyi dalam gelap di dekat tenda kami. “Bukan siapa-siapa meureun, hanya orang sini”, kata Sana. Okee aku berusaha membuang jauh-jauh pikiranku yang aneh-aneh. Selesai beres-beres kami segera masuk tenda. Tenda kami adalah tenda double layer, hanya pintu jaring bagian inner saja yang kami tutup, sementara pintu bagian luar kami biarkan terbuka. Maklum, camping di pantai tak seperti di gunung, panas sekali di Santolo, meskipun saat malam hari.

Pukul 23.30

Krek, krek, krek, bunyi kayu mulai hangus terbakar. Terlihat dari dalam tenda, ada seseorang yang menyalakan api unggun sisa kami. Orang tersebut seperti berdoa, memejamkan matanya sambil berkomat-kamit mulutnya, lalu dia mengobrol dan tertawa sendiri. Itonk sedang tidur saat itu, sedangkan aku dan Sana penasaran, kami terbangun dan mengintip dari dalam tenda. “Mungkin orang sini, kayaknya agak stres”, kata sana. “Bawa sesuatu yang aneh ga dia?”, tanyaku. Okee sedikit cerita, di dekat tempat tinggalku, di sebuah gang, ada seorang penderita gangguan jiwa, dia selalu membawa senapan, dan pernah juga membawa golok. Saat itu aku berpikir, jika memang orang itu adalah penderita gangguan jiwa, semoga dia tidak membawa alat apapun yang membahayakan. “Ngga”, kata Sana. Setidaknya aku bisa sedikit tenang.

Seusai ‘berdoa’, orang itu berjalan menuju laut. Dia berjalan ke tengah laut sambil bermain air, seolah menantang ombak, padahal ombak sedang besar saat itu, air laut sedang pasang. “San, dia ngapain?”, tanyaku ngeri. “Nyari lauk meureun”, kata Sana asal jawab, entah mungkin untuk menenangkanku, karena saat itu aku terlihat panik, atau mungkin memang hanya asal jawab. Tapi aku tertawa kecut, “yah mudah-mudahan hanya itu”, kataku dalam hati. “Aku haus pengen yang seger-seger, aku cari minuman dulu ya”, kata Sana. “Jangan tinggalin kita disini San, please”, kataku. Sana pun mengurungkan niatnya. Setelah keadaan tenang, kami pun mencoba untuk melanjutkan tidur.

Pukul 00.30

Panas sekali di dalam tenda. Malam itu sama sekali tidak ada angin. Tak kuat, kami semua terbangun, lalu mengintip keluar. Setelah memastikan semua aman, tak ada siapapun di dekat tenda kami, kami pun keluar tenda. Sana mencari minuman, aku dan Itonk hanya keluar menghirup udara sambil melihat pantulan cahaya bulan di atas ombak yang akan pecah. Saat itu bulan purnama, cahayanya terang sekali, hingga warna pasir pantai pun terlihat sangat indah. Setelah Sana kembali, kami pun masuk kembali ke dalam tenda. Flysheet pintu belakang kami buka, hanya menyisakan inner saja, supaya ada sirkulasi udara. Aku yang asalnya berada di posisi tengah bertukar posisi tidur dengan Itonk, karena di antara kami bertiga, dialah yang paling kepanasan. Sekarang Itonk di tengah, sehingga angin langsung mengenai tubuhnya. Tak lama kami pun terlelap.

Pukul 02.30

“Sas Sas, ada orang di belakang”, Itonk membangunkanku. Aku langsung terbangun, berdetak kencang jantungku. “Dimana Tonk?”, tanyaku. “Di belakang tenda kita Sas, liat geura”, katanya. “Aku ga mau liat Tonk”, kataku. Jujur aku takut, masih terbayang ketika pertama melihat siluet orang di dekat tenda kami. Sana tidak terbangun saat itu. Hanya kami, tegang. Kami merasa ada orang mengintai tenda kami. Apa tujuannya? Itulah yang terus terpikirkan olehku. Jadi kata Itonk, saat itu dia sedang melihat bintang. Bintangnya bagus sekali, seperti gugusan galaksi. Dia pun terus melihat ke belakang, dan akhirnya melihat seseorang berdiri di belakang tenda kami. Hiih..

Pukul 04.00

Gerimis. Kami hendak menutup pintu tenda kami agar air tak masuk dari arah depan. Ketika kami buka pintu inner, kami melihat seseorang menggunakan jas hujan berdiri hanya sekitar 3 meter di depan tenda kami, sambil memandangi tenda. Namun ketika pintu tenda terbuka semua, orang tersebut segera membalikkan badan dan pergi. What? Apa niat orang tersebut?

Pukul 04.30

Seseorang menyalakan api unggun kami (lagi). Kami terbangun. Aku hendak mengintip, saat kubuka pintu tenda, kaget bukan main aku melihat kantong keresek sisa makanan kami tergantung menggunakan tali. Seseorang menggantungnya, bukan kami. Segera aku menutup pintu tenda dan memandangi Itonk. “Ada apa Sas?”, tanya Itonk tegang. Awalnya aku tak sanggup bilang apa-apa, tapi akhirnya aku bilang, “Keresek kita digantung Tonk”. Itonk pun penasaran dan mengintip keluar. Diapun kaget, “Berarti orangnya ngoprek barang-barang kita ya”, katanya. Kami tegang, ngobrol pun berbisik karena takut didengar oleh orang di luar, entah masih ada orang atau tidak di luar, yang pasti kami tak berani mengintip lagi.

Adzan subuh pun berkumandang. Aku shalat di dalam tenda, tak berani keluar dan memang masih gerimis sedikit. Selepas shalat, terasa panas di dalam tenda. Kami membuka pintu tenda. Kami pikir, mungkin kalau sudah lewat adzan subuh keadaan akan lebih menenangkan bagi kami. Okee sudah tak ada orang di sekitar kami, setidaknya begitu pikir kami. Lalu tiba-tiba ada dua orang berjalan dari arah selatan, seorang berhenti dan seorang lagi melanjutkan perjalanan. Ketika orang tersebut melewati tenda kami, kulihat sebilah arit tergantung di pinggangnya, sontak aku langsung kaget dan menutup pintu tenda. “Dia bawa celurit Tonk”, kataku. Kami terdiam, terpaku kaget. Kami hanya bisa berharap matahari segera terbit saat itu, namun waktu rasanya bergerak begitu lamban. Kami berusaha memejamkan mata dan lambat laun kami pun terlelap, melupakan semua kejadian menegangkan semalam, sambil bersabar menunggu, sebentar lagi matahari terbit.


Pernah nonton film ber-genre thriller atau crime? Atau mungkin penggemar kedua genre film tersebut? Kalau iya, berarti kita sama! Mungkin penggemar kedua genre tersebut tahu betul bagaimana grafik emosi penonton dipermainkan. Yap, pengalaman semalam di tenda, saya seolah berperan sebagai aktris di film ber-genre thriller. Sekumpulan teman berwisata, hal-hal menyenangkan terjadi awalnya, namun keadaan berubah menjadi menegangkan ketika hari mulai gelap.

Memang luar biasa kekuatan pikiran. Bersyukurnya kami, semua itu hanya perasaan dan pikiran-pikiran liar kami saja. Toh pada akhirnya tidak terjadi hal buruk pada kami. Kalau memang orang-orang di sekitar tenda kami berniat jahat, pasti hal buruk sudah terjadi pada kami. Kalau kata Sana, “Lebay ah kalian mah, buktinya ga kenapa-kenapa kan”. Yap, mungkin kami hanya berlebihan saja, mungkin terlalu banyak nonton film ber-genre thriller dan crime. Mungkin orang-orang tersebut adalah warga sekitar yang memang sehari-harinya berkegiatan seperti itu. Bisa jadi sebenarnya kamilah sang intruder, menyelinap masuk ke dalam keseharian mereka 😀 😀


Terlepas dari pengalaman menegangkan malam itu, aku bersyukur dapat melihat indahnya laut saat bulan purnama. Matahari pun terbit. Mungkin inilah yang dirasakan para tokoh dalam film-film thriller ketika berhasil lolos dari krisis di malam hari, menyenangkan dan menenangkan.

Laut di pagi hari

Kami sarapan dan mengobrol sebentar, lalu aku dan Itonk bermain sebentar di pinggir pantai, sedangkan Sana menyeruput kopinya di depan tenda. Tak lama kami kembali ke dalam tenda, lalu tertidur pulas. Mungkin karena semalaman tak bisa tidur nyenyak 😀 😀

Pukul 08.00

Kami terbangun lalu duduk-duduk memandang laut. Tak jauh dari tenda, ada seorang laki-laki melihat ke arah kami sambil senyum-senyum. Mungkin dia adalah penderita gangguan jiwa yang semalam ‘mengintai’ kami. Cukup beristirahat, kami pun segera membereskan tenda dan kembali ke penginapan. Setelah semua siap, kami pun pulang sekitar pukul 11.00.

Pemandangan dari dalam tenda

Pengalaman camping yang luar biasa. Camping saat cuaca badai sudah pernah aku alami. Camping di pinggir pantai pun sebelumnya aku pernah. Tapi camping menegangkan seperti ini, adalah pertama kali bagiku. Namun pengalaman tujuh jam menegangkan dalam tenda ini tidak menyurutkan hasratku untuk camping lagi di kemudian hari, karena setiap perjalanan memiliki kisahnya tersendiri…

Published by dwitunggadewi

Software developer, blogger, travel enthusiast

5 thoughts on “Pantai Santolo, Tujuh Jam Menegangkan dalam Tenda

Leave a comment