Papalidan – begitulah kami menyebutnya. Palid, dalam bahasa Sunda berarti hanyut. Seperti itulah perjalanan pulang kami dari Pantai Pangandaran.
Sebenarnya ini kisah lama, kisah di tahun baru 2010. Namun karena kisah ini sangat berkesan buatku, bisa dibilang salah satu pengalaman nekatku, membuat jari-jari ini gatal rasanya ingin bercerita.
Suatu ketika di tahun 2009, ketika aku masih duduk di bangku STM, teman-teman kelasku bercerita bahwa mereka berhasil mengunjungi Pantai Ujung Genteng hanya dengan modal 19.000 rupiah. Yap, hanya dengan modal sembilan belas ribu rupiah mereka bisa menyambangi pantai yang berjarak hampir 300 kilometer jauhnya dari tempat kami. Kok bisa? Yaa, mereka papalidan.
Papalidan, atau dalam bahasa Sunda palid berarti hanyut. Begitulah mereka menempuh perjalanan menuju Ujung Genteng. Atau bisa kusebut, modal jempol. Dengan modal jempol mereka menumpang kendaraan yang lewat, atau istilah kerennya hitchhike.
Dari obrolan-obrolan itu tercetuslah ide untuk berangkat ke Pangandaran dengan cara papalidan. Karena kali ini mereka mengajak perempuan, dipilihlah Pantai Pangandaran yang notabene sudah menjadi pantai wisata. Diputuskan kami akan berangkat di tahun baru 2010, sekalian lihat kembang api di pantai. Anehnya kami, kami akan melaksanakan UN di bulan april loh. Yap, orang lain mau UN belajar, kami malah main! 😀
Kami merencanakan segala macam persiapan di sekolah, setiap hari kami mengobrol soal rencana ini. Aku bersemangat. Hingga tiba saat aku meminta izin untuk berangkat ke orang tuaku. Tentu saja jawabannya tidak. Aku sudah yakin sebenarnya tidak akan diizinkan. Orang tuaku pasti khawatir anak perempuannya menumpang-numpang kendaraan orang tak dikenal. Aku memohon dan terus memohon. Namun semakin mendekati hari keberangkatan, izin tak kunjung kudapat. Aku pasrah, aku tak akan ikut, ucapku pada teman-temanku.
Hingga suatu hari, ketika aku sedang berada di gedung workshop di sekolahku bersama teman-temanku, ibuku menelepon. Singkat padat dan jelas. “Sas, kata bapak boleh“, ucap ibuku di seberang telepon. Jantungku berdegup kencang, seraya memastikan sekali lagi, “Bener boleh Bu?“. Sekali lagi juga ibuku menjawab, “Iya boleh“. Aku langsung melompat kegirangan. Sesaat setelah menutup telepon, aku langsung mengumumkan ke teman-temanku bahwa aku jadi ikut. Teman-temanku yang lain memberikan selamat. Lebay yaa, serasa ada momen yang perlu dirayakan. Tapi seperti itulah nyatanya, aku memang dikenal sebagai tukang main, jadi mendapat izin orang tua sangat membahagiakan, patut dirayakan 😀
Dan dimulailah cerita papalidan kami…
One thought on “Pangandaran Modal Jempol (#Prolog)”