Pangandaran Modal Jempol (#1 Kompor Parafin)

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sesuai hasil pembicaraan kami di sekolah, kami berangkat tanggal 30 Desember 2009. Pagi itu kami berkumpul di sekolah. Bukan hanya kami para hitchiker gadungan yang kumpul pagi itu. Bak melepas anggota keluarga yang akan pergi berangkat haji ke tanah suci, kami pun dilepas, diantar, dijajap kalau orang Sunda bilang, oleh beberapa teman kami yang tak ikut.

Berangkaaat!

Hari pertama, 30 Desember 2009

Selepas berdoa kami berangkat naik angkutan kota, atau biasa disebut angkot, menuju Terminal Cicaheum, Bandung. Perjalanan pergi memang kami rencanakan menggunakan angkutan umum bus dari Cicaheum, barulah perjalanan pulang akan kami tempuh dengan modal jempol.

Kami berangkat berdelapan. Tiga orang perempuan, termasuk aku, dan lima orang laki-laki. Biar kukenalkan dua perempuan tangguh partner perjalananku. Itonk, sobat paling klop, apalagi urusan main. Yap, dia juga lah yang bersamaku ketika melewati tujuh jam menegangkan dalam tenda ketika di Santolo, atau ketika menyambangi surga di seberang pesisir utara Jawa, Karimunjawa, dan banyak perjalanan lainnya lagi. Bahkan di daerah Bandung, kami senang main berdua tanpa tujuan, ke mana motor membawa saja.

Satu lagi Diyana, pecinta alam di sekolah. Tak perlu dipertanyakan lagi kekuatan fisik dan pengalamannya. Dulu kami pernah berencana ingin backpacker ke Jepang bertiga!

Kelima teman lelakiku adalah Sana, tukang main yang seringkali mengajakku dan Itonk jarambah alias main, karena hanya kami yang selalu mau diajak. Bahkan hingga tahun lalu, bertahun-tahun setelah lulus sekolah pun kami masih suka main bersama. Yap, dia jugalah yang pergi denganku dan Itonk ke Pantai Santolo dan Karimunjawa.

Lalu ada Desta, dulu saat sekolah, kalau ditanya cita-citanya apa, ingin jadi presiden katanya.

Kemudian ada Wahyudin atau biasa kupanggil Udin. Tukang main juga, lebih suka laut ketimbang gunung katanya, kalau gunung ribet. Rezeki tak kemana, saat ini dia dapat pekerjaan yang seringkali mengharuskannya keliling Indonesia.

Satu lagi Rian, rumahnya tak jauh dari rumah Sana. Kalau mau pergi main, rumah Rian atau rumah Sana-lah yang sering dijadikan basecamp. Rian tukang main juga, sebelum dia menikah, hampir setiap main pun Rian ikut.

Yang terakhir Aguy, teman Sana. Aku tak begitu kenal dengan Aguy, nama aslinya pun aku tak tahu, mungkin Agus. Namun karena semua memanggilnya Aguy, yaa aku turut saja memanggilnya begitu.


Tiga puluh ribu rupiah masing-masing kami keluarkan untuk ongkos bus. Yap, saat itu bus AC Bandung-Pangandaran masih tiga puluh ribu rupiah.

Sesampainya di Pangandaran, kami segera mencari titik terbaik untuk mendirikan tenda. Dekat dengan masjid, adalah pertimbangan kami yang paling utama dalam memilih tempat mendirikan tenda. Berhubung kami tak menyewa kamar sama sekali, kami harus punya akses yang mudah ke air bersih untuk membersihkan diri. Selain itu kami juga bisa shalat sekaligus beristirahat, ngadem.

Kalau pernah ke Pangandaran, pasti tahu kalau dari loket masuk, kita harus jalan terus masuk ke dalam. Jalanannya lurus, lumayan jauh. Setelah mentok, ada persimpangan. Dari persimpangan ini kami belok kiri dan terus berjalan sambil melihat-lihat barangkali ada tempat yang cocok. Tak begitu jauh kami berjalan, kami menemukan tempat yang pas. Kami memang sengaja tak begitu jauh jalan ke arah timur, karena semakin ke timur, pengunjung semakin ramai.

Dekat tenda kami berdiri beberapa tenda terpal warung penjual baju. Pun ada ayunan di situ, melengkapi kenyamanan akomodasi kami yang ala kadarnya.


Hari pertama tak banyak yang kami lakukan, hanya sedikit bermain air, masak untuk makan malam, dan bersenda gurau tentunya.

Bicara tentang masak, inovasi alat-alat outdoor sekarang semakin beragam. Kompor misal, sudah bermacam-macam bentuknya. Bisa dilipat hingga ukuran mini, mudah untuk dibawa. Pun ada yang dilengkapi dengan wind shield alias penghalang angin. Ada wind shield yang terpisah, ada juga yang menyatu dengan kompornya itu sendiri membentuk seperti kelopak bunga mawar. Kebanyakan sudah menggunakan gas, sehingga lebih mudah penggunaannya, matangnya pun lebih cepat.

Masak menggunakan kompor parafin

Saat itu kami masih menggunakan kompor parafin. Yap, kompor dengan bahan bakar lilin parafin itu. Matangnya lebih lama ketimbang kompor gas. Wind shield nya pun harus dibuat sendiri. Karena kami di pantai, kami gali saja pasir pantainya sehingga membentuk sebuah ceruk. Di situlah kami letakkan kompor parafin dan memasak. Rumit memang, tapi justru itulah seninya. Ahh, aku rindu.

Bersambung


Notes: Sumber featured imagesuperadventure.co.id

Published by dwitunggadewi

Software developer, blogger, travel enthusiast

One thought on “Pangandaran Modal Jempol (#1 Kompor Parafin)

Leave a comment