Harapan kami kian tipis. Hingga tanpa disadari sudah hampir tengah malam. Kami menunggu di bahu jalan, terduduk sambil menjulurkan kaki.
Hari ketiga, 1 Januari 2010
Cukup puas bermain air di hari-hari sebelumnya, hari itu kami hanya berjalan-jalan saja, menutup perjalanan kami di Pantai Pangandaran dengan belanja oleh-oleh di Pantai Timur. Tak banyak oleh-oleh yang kami beli, hanya ikan asin jambal roti. Kurang lengkap rasanya ke Pangandaran tak membawa pulang ikan asin andalan pantai selatan Jawa Barat ini.

Siang itu kami tutup dengan santap siang di pinggir pantai, dengan lauk ala kadarnya, bekal chicken nugget yang kami bawa, ditambah ikan asin jambal roti yang baru saja kami beli. Nikmat!
Setelah makan kami bersiap untuk pulang, membereskan tenda dan semua barang-barang kami. Sampai jumpa Pangandaran, see you next time!
Jalan panjang menuju pintu keluar Pangandaran kami lalui dengan berjalan kaki. Hingga tiba di bundaran Monumen Marlin Pangandaran. Kami berhenti dan salah seorang dari kami memulai aksinya dengan mengacungkan jempol.
Setelah beberapa saat menunggu, sebuah mobil pick up menepi dan bersedia mengangkut kami. Aku antusias sekali kala itu, sangat bersemangat. Maklum saja, itu pertama kalinya aku menumpang kendaraan seseorang yang sama sekali tak kukenal, tanpa mengeluarkan rupiah sepeserpun.
Tak terlalu jauh kami menumpang mobil pick up itu, lantaran mobil tersebut memang akan berhenti di sebuah pasar. Kami pun turun dan menunggu kendaraan lain lagi yang mau mengangkut kami. Sambil menunggu kami tetap berjalan, dengan kecepatan pelan tentunya, sambil sesekali melihat ke belakang, siapa tahu ada kendaraan yang bisa kami hentikan dan bersedia memberi tumpangan.
Rezeki tak kemana, sebuah truk menepi dan bersedia mengangkut kami. Perjalanan melintasi Pegunungan Kalipucang yang berkelok-kelok itu kami lewati menggunakan truk, seru. Sesekali aku berdiri merasakan hembusan angin yang begitu langsung menyentuh kulit wajah dan tubuhku, sesekali harus merunduk ketika ada batang pohon yang menjulur ke tengah jalan, dan sesekali aku hanya duduk, sembari mengobrol bersama kawan seperjalananku.
Tak terasa tibalah kami di Simpang Kalipucang, persimpangan yang menentukan apakah kami akan tetap di Jawa Barat, atau akan melanjutkan perjalanan menuju Jawa Tengah. Kami turun di persimpangan tersebut, lantaran truk yang mengangkut kami nampaknya akan melanjutkan perjalanan ke arah Jawa Tengah, sedangkan kami menuju ke arah Bandung.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore saat itu. Kami pun menunggu kendaraan lain yang bersedia mengangkut kami (lagi). Satu, dua, tiga, hingga lebih kendaraan pick up maupun truk yang lewat tak mau mengangkut kami. Hingga salah seorang dari kami kesal dan melampiaskan kekesalannya dengan cara memukulkan botol ke udara seraya menggeram. Namun sayang, botol itu tak hanya menyentuh udara, melainkan menyentuh bak mobil pick up yang baru saja lewat menolak mengangkut kami.
Mobil pick up itu berhenti, lalu mundur menuju tempat kami berdiri. Nampaknya supir mobil tersebut tak terima salah satu dari kami ‘memukul’ bak mobilnya. Meskipun itu tanpa sengaja dan sebenarnya kekesalan tersebut tidak ditujukan kepada mobil itu. Kawanku hanya kesal karena sudah lama menunggu namun tak ada satu pun yang mau mengangkut kami, padahal banyak mobil pick up atau truk yang lewat. Itu saja.
Supir pick up itu mengonfrontasi kami. Suasana begitu tegang. Aku pun merasa deg-degan. Jelas saja, itu bukan daerah kami. Aku tak tahu bagaimana adat dan kebiasaan di daerah tersebut, pun emosinya. Beruntung salah satu dari kami berhasil menengahi, meredakan amarah sang supir dengan meminta maaf, tanpa ada pergumulan.
Usai melalui suasana mendebarkan itu kami lanjut berjalan sambil tetap mencoba mengacungkan jempol ketika ada mobil pick up atau truk yang lewat. Tak begitu lama kami berjalan, sebuah truk menepi. Temanku mengobrol dengan supir truk tersebut. Rupanya sang supir meminta ongkos. Dua puluh ribu rupiah per orang katanya. Kami menolak. Sepuluh ribu saja, lanjut sang supir, diantar sampai Bandung. Hmm, menggiurkan. Namun idealisme darah muda kami menolak. Kami tetap bertekad untuk tak mengeluarkan ongkos sepeserpun. Supir itu pun pergi.
Hari sudah mulai gelap. Kami putuskan beristirahat terlebih dahulu sambil mencari masjid untuk salat. Seusai salat maghrib, tak kunjung ada kendaraan yang bersedia memberi tumpangan. Waktu terus berlalu, detik, menit, jam, hingga hari semakin gelap. Kami berjalan dan terus berjalan di kegelapan malam, dikelilingi hutan dan sesekali melewati pemukiman warga yang tak begitu ramai. Hingga akhirnya rasa lelah menggerogoti tubuh kami.
Sekitar pukul 9 malam kami berhenti lagi di sebuah masjid. Beristirahat sembari mengisi daya hand phone kami yang sudah sekarat. Lalu kami melanjutkan perjalanan, tak jauh. Kami lelah. Kian malam, suasana kian hening, makin sedikit kendaran yang lewat, pun berlaku untuk mobil pick up dan truk. Harapan kami kian tipis. Hingga tanpa disadari sudah hampir tengah malam. Kami menunggu di bahu jalan, terduduk sambil menjulurkan kaki. Lalu tiba-tiba seorang lelaki paruh baya menghampiri kami…
Bersambung…
Notes: Foto featured image oleh cottonbro dari Pexels
One thought on “Pangandaran Modal Jempol (#3 Pulang)”