Santolo Jadi Saksi, Bayiku ke Pantai Pertama Kali

UNTUK PERTAMA KALI DALAM HIDUPNYA, ARKA ANAKKU PERGI KE PANTAI DI USIANYA YANG BELUM GENAP 5 BULAN. YEAAAAY!

Sabtu, 1 Oktober 2022

Pagi itu sekitar pukul 10, pokoknya kami (aku dan keluarga suamiku) hanya ingin main. Tanpa rencana, pokoknya ke arah Ciwidey atau Pangalengan. Tapi di jalan, adik iparku bilang, “Taman Langit mah Pangalengan na ge ujung. Kagok mending ka Santolo keun, 2 atawa 3 jam lah lewat Gambung.”

Kami yang hobi main, tanpa pikir panjang langsung mengiyakan, lain-lainnya urusan belakangan. Mama mertuaku bahkan tak bawa baju ganti. Handuk pun beliau beli di minimarket sejuta umat. You know what I mean, kalau bukan yang merah biru kuning, yaa yang ikonnya lebah itu 🙂

Beruntungnya aku bawa baju ganti, lantaran suamiku sudah mewanti-wanti. Bawa baju barangkali kita mau berendam di Ciwidey, katanya. Bahkan aku bawa perlengkapan Arka untuk dua hari. Itulah kenapa aku selalu bawa perlengkapan untuk 2 hari di diaper bag Arka setiap bepergian. Yaa untuk antisipasi hal-hal begini. Sebab kami hobinya pergi dadakan.

Sesuai saran iparku, perjalanan kami tempuh lewat Gambung. Wisata andalan Pangalengan seperti Situ Cileunca, Cukul Sunrise PointTaman LangitRanca Cangkuang, Nuansa Riung Gunung, semua kami lewati. Jalannya memang sudah bagus, namun naik turun dan banyak belokan. Maklum, namanya juga lewat gunung. Sesekali lewat kebun teh, sesekali juga lewat hutan yang cukup seram kalau hanya dilewati mobil sendiri. Aku sarankan, kalau mau lewat sini usahakan sebelum hari gelap. Sebab siang hari saja gelap karena cahaya matahari tertutup rimbunnya pepohonan, apalagi malam hari.

FLASHBACK  Jadi ingat, dulu saat aku masih duduk di bangku STM kalau tak salah, aku dan keluarga besar ibuku pernah beramai-ramai ke Santolo lewat jalan ini. Mungkin sekitar 4 mobil. Saat itu jalannya masih jelek. Dengan jalanan yang begitu ekstrimnya, bapak bawa mobil sedan. Hingga anak-anak sekitar saling berteriak heran dan girang saat mobil kami lewat. “Eta sedan euy”, seru mereka. Mungkin saking anehnya lantaran jarang sedan lewat jalan itu.

Di dekat Situ Cileunca, kami berhenti di sebuah masjid besar berwarna ungu yang terletak di sebuah belokan. Masjid An-Nur namanya. Sekalian kami makan siang bekal yang dibawa mama mertuaku. Di masjid ini ada seorang lelaki yang begitu ramah, mungkin marbut masjid. Beliau berjualan permen jahe dan permen susu khas Pangalengan. Aku beli permen jahe seharga 25 ribu rupiah setoples isi 45 buah.

Perhentian berikutnya adalah di minimarket berlogo lebah di Cisewu. Di minimarket inilah kami beli perlengkapan pribadi, bekal makanan, dan lain sebagainya. Untuk mengganjal perut, kami juga beli teh manis panas dan mi instan seduh di sini.

Perhentian terakhir sebelum tiba adalah di sebuah surau berjarak hampir satu jam dari Pantai Santolo. Masjid Rahapik Oesman namanya. Kebetulan aku sedang tak shalat. Kata keluargaku, pemandangan dari dalam surau itu bagus, sebab kiblatnya mengarah ke lautan, dan ke arah laut itu hanya dibatasi oleh kaca.

Singkat cerita, sekitar waktu magrib tibalah kami di Pantai Santolo. Akhirnya!

Perjalanan menuju Pantai Santolo

Diperkirakan hanya 2 hingga 3 jam dari Pangalengan, namun ternyata memakan waktu hingga 5 jam. Perkiraan tiba pukul 2 atau 3 siang, ternyata tiba saat magrib. Tapi memang karena kami banyak berhenti juga. Sebab bawa bayi, kasihan kalau berlama-lama di mobil. Harus sering istirahat.


Mendung sih, tapi tetap cantik kok 🙂

Setibanya di Pantai Santolo, kami ditagih biaya tiket 10 ribu per orang, sedangkan mobil 15 ribu. Jadi total kami membayar 75 ribu. Awalnya petugas tiket tak memberikan tiket fisik pada kami, tapi iparku bersikeras meminta tiket. Maksudnya agar kalau keluar area wisata dan mau masuk lagi, kami bisa memperlihatkan tiket supaya tak ditagih bayar lagi. Namun ternyata saat melihat tiketnya, tertera harganya cuma 7.500 saja. Ditekuk 2.500 hehe, pantas saja mereka menolak memberikan tiket. Tapi tak apalah, kami tak mau ribut.

Kami tak banyak survei mencari penginapan, sebab hari sudah mulai gelap, kami hanya ingin segera beristirahat. Penginapan yang kami sewa adalah penginapan yang sebelumnya pernah disewa oleh iparku. Namanya Penginapan Danda kalau tak salah.

Kamar ber-AC dikenakan harga 300 ribu rupiah per malam, sedangkan non AC 250 ribu rupiah per malam. Kami pesan kamar ber-AC. Sekamar bisa masuk hingga 6 orang, sebab ada 2 kasur ukuran queen di setiap kamarnya. Jadi kami hanya pesan satu kamar.

Tidak ada dispenser di dalam kamar, namun pemilik penginapan dengan baik hati menawarkan kalau-kalau kami butuh air panas, bisa minta ke resepsionis. Ya, kami memang butuh air panas untuk membuat susu formula Arka. Kami tak bawa kompor portable sebab memang sama sekali tak diduga kami akan pergi bermalam di pantai.

Malam itu tak banyak yang kami lakukan. Aku membeli sandal jepit karena tak bawa sandal. Lalu berburu sea food untuk makan malam. Pilihanku jatuh pada restoran sea food bernama RM Santolo Ised-isedan “Ade Baruno”.

Ikan kuwe bumbu asam manis, udang saus padang, dan cumi tepung menjadi teman makan malam kami.

Harganya masih masuk akal menurutku. Ikan kuwe 1,2 kg, udang 1/4 kg, dan cumi 1/4 kg cukup untuk kami berenam. Karena di antara kami ada yang tak begitu suka sea food, jadi kami juga beli 2 potong ayam. Total kami menghabiskan 318 ribu rupiah untuk makan kami berenam. Dan itu porsinya buaaaanyak sekali. Ikan kuwenya cukup untuk dimakan lagi besok siangnya. Rasanya pun enak. Recommended menurutku. Cuma memang harus sabar menunggu, sebab masaknya lama 🙂

Perut kenyang, hati senang, pikiran pun tenang. Tunggu apa lagi, yuk kita tidur! Istirahatkan tubuh untuk menyambut subuh esok hari.

Eh tapi anak bayiku susah tidur. Mungkin karena suasana yang begitu asing. Dan berisik. Penyewa kamar lain, segerombolan anak muda, bermain gitar hingga larut malam. Lalu ada juga yang dangdutan. Hingga tengah malam juga.

Aku tak bisa marah. Sebab pertama, itu memang tempat wisata. Tak aneh tengah malam masih ramai. Sebab kedua, aku pernah merasa di posisi itu. Bercengkerama bersama kawan di pinggir pantai, sudah pasti tak ingat waktu 🙂


Minggu, 2 Oktober 2022

Selamat pagi dunia, selamat pagi Santolo!

Bubur ayam dan segelas teh tawar mengisi perut kami pagi hari itu. Sudah cukup kenyang, kami menyeberang ke pulau dengan perahu motor. Lucu memang, kami menyeberang muara yang lebarnya mungkin hanya sekitar 20 meteran. Baru duduk di perahu, sudah turun lagi 🙂

Sekali menyeberang 5 ribu rupiah. Bapak nelayan yang menyeberangi kami (sebut saja nelayan tentara karena memakai baju tentara), tak mau langsung dibayar. Nanti saja bayar saat jemput, katanya. Jadi kami membayar 10 ribu per orang saat kembali lagi.

Suasana muara tempat penyeberangan ke pulau

Satu hal yang kuacungi jempol. Persaingan antar nelayan untuk menyeberangi pengunjung itu adil, tidak saling sikut, apalagi hinggu ribut.

Nelayan lain tak mau mengangkut kami saat akan kembali lantaran kami sudah “membuat kontrak” untuk kembali dijemput oleh nelayan tentara.

Setibanya di pulau, kami membayar tiket masuk sebesar 3.000 rupiah per orang.

For your info, harga-harga di Santolo tergolong murah untuk standar tempat wisata. Tiket masuknya, makanannya, penginapannya, bahkan barang sehari-hari di warung, seperti sandal jepit, semuanya harga standar, tidak ditekuk. Tapi harga toiletnya mahal! Sekali buang air kecil ditagih 5.000 rupiah, padahal biasanya 2.000 rupiah saja 🙂

FLASHBACK – Jadi ingat saat aku dan kawanku camping di Santolo tahun 2019 lalu. Kawanku ke toilet dan membayar dengan uang 200 rupiahan 10 keping. Ditolak! Sudah tak laku katanya.


Upside down lighthouse?

Pemandangan pantai yang unik menyambut kami di pulau. Kalau biasanya ombak pecah di pinggir pantai, di pulau ini ombak pecah di tengah pantai. Nah loh, gimana maksudnya?

Jadi, dari bibir pantai konturnya datar, mungkin hingga 200 meter ke arah lautan. Barulah ombak pecah di jarak 200 meteran dari bibir pantai ini.

Daya tariknya ya kontur datarnya ini. Selain banyak tersebar batu karang di sepanjang bibir pantai ini, ekosistem bawah lautnya cukup beragam menurutku. Kontur datar ini memiliki kedalaman air laut sekitar mata kaki hingga lutut orang dewasa. Area yang kedalamannya cukup dalam, yakni sekitar lutut orang dewasa, menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil yang tak kutahu namanya. Ikan-ikan itu berenang-renang kesana kemari bersama-sama, bak di akuarium besar. Pokoknya cantik!

Beraneka ragam ikan kecil berenang di sini

Sedangkan di area dangkal, yakni sekitar mata kaki, alga dan rumput laut tersebar merata. Pemandangan unik lainnya, pasir pantai di area dangkal ini menjadi rumah bagi makhluk invertebrata berkaki lima. Makhluk apakah itu?

Brittle stars! Sejenis bintang laut yang memiliki kaki-kaki panjang yang rapuh. Kaki-kaki ini bisa terlepas saat mereka merasa terganggu atau terancam oleh predator. Nantinya kaki yang lepas ini akan tumbuh lagi. Seperti ekor cicak yaa. Kemampuan ini disebut autotomi.

Brittle stars!

Setelah bermain-main di perairan berkontur datar ini, kami mengunjungi mercusuar. Untuk menuju mercusuar harus menaiki anak tangga yang cukup tinggi. Aku yang menggendong bayi urung naik, takut terjadi hal yang tak diinginkan. Begitulah, kalau bawa bayi sebaiknya tidak maceuh teuing kalau orang Sunda bilang. Tidak terlalu pecicilan atau petakilan 🙂

Mercusuar Pantai Santolo

Setelah puas bermain di pulau, kami kembali menyeberang ke pantai naik perahu nelayan tentara.

Setibanya di penginapan, Arka kuseka terlebih dahulu supaya segar. Selepas itu dia bermain dengan eyangnya. Lalu bagaimana denganku?

Yesssss, tentu saja aku bermain air di pantai!

Aku, suami, dan adik iparku bermain air dan ombak di bibir pantai. Fasilitas penyewaan seluncur air sudah banyak di Santolo. Pun bagi yang ingin memacu adrenalin, water sport seperti banana boat dan rolling donut tersedia di sini. Menarik bukan?

Semangat Pak!

Cukup bermain air, kami membersihkan diri dan bersiap untuk pulang. Terasa singkat memang, tiba saat magrib, tengah hari esoknya sudah pulang. Tapi itu cukup untuk mengobati rasa rinduku akan suara ombak dan lembutnya pasir pantai saat kakiku menyentuhnya. Mengingat terakhir kali aku ke pantai adalah saat bersama bapak di tahun 2021. Pantai Menganti, akan selalu di hati 🙂

Selepas shalat Dzuhur, kamipun meninggalkan Pantai Santolo…


Tak seperti saat berangkat yang melewati jalur Pangalengan, perjalanan pulang kami tempuh lewat jalur kota. Takut juga kalau harus lewat hutan saat hari sudah gelap. Sepanjang perjalanan kami berhenti dua kali, yakni di Rumah Makan Asep Stroberi Tarogong Garut, lalu di Rest Area Km 149 ruas tol Padaleunyi.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalananku, aku berhenti di rest area ruas tol Padaleunyi. Rest area ini terletak tak begitu jauh dari gerbang tol Cileunyi. Bukan karena iseng kami berhenti di rest area ini. Sejak di Rancaekek, Arka mulai rewel. Semakin diteruskan perjalanan, malah semakin rewel. Akhirnya kami berhenti di rest area. Arka ngantuk dan lelah. Dia harus dieyong-eyong, digendong sambil diayun, yang tak mungkin dilakukan di dalam mobil. Tak lama digendong, Arka tertidur. Mumpung lagi di rest area, sekalian saja kami pun beristirahat. Meregangkan tubuh, lalu menyeruput kopi kemasan. Ahh nikmat!

Waktu menunjukkan pukul 20.35. Sudah malam. Setelah 30 menit beristirahat, kami pulang dan tiba sekitar pukul setengah 10 malam. Alhamdulillah 🙂

Perjalanan pulang dari Pantai Santolo

SEDIKIT CURHAT – Awalnya aku khawatir bagaimana reaksi Arka saat pertama kali ke pantai. Aku khawatir dia takut mendengar suara ombak yang begitu keras berdebur, atau takut melihat air laut yang begitu luas terhampar, atau tak nyaman karena panas yang menyengat. Tapi Alhamdulillah, semua itu hanya kekhawatiran yang tak menjadi kenyataan. Nyatanya Arka terlihat bahagia dan nyaman-nyaman saja selama di pantai 🙂

Published by dwitunggadewi

Software developer, blogger, travel enthusiast

Leave a comment