Bismillāhirrahmānirrahīm.
Sedang ramai dibicarakan, musibah tenggelamnya belasan siswa study tour di Pantai Drini, Gunungkidul pada tanggal 28 Januari 2025 silam. Beberapa di antaranya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa.
Usut punya usut, hal ini disebabkan oleh rip current, atau arus rip. Menurut Oxford Dictionary, rip current adalah: a strong current of water that flows away from the coast. Arus kuat yang mengalir menjauhi pesisir.
Artinya, berbeda dengan ombak yang bergerak dari tengah laut menuju pesisir, rip current justru bergerak dari pesisir menuju ke tengah laut.
Mungkin di Indonesia, umum jika menyebutnya arus balik.
Aku tak akan membahas soal musibah di Gunungkidul. Hanya bisa berdoa, semoga korban meninggal dunia diberi tempat terbaik di sisi-Nya, dan korban selamat diberi kekuatan dan keberanian untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.
Dalam tulisan ini, aku hanya akan bercerita tentang kisah arus balik yang nyata terjadi di hidupku.
Ya, bukan arus balik mudik, tapi arus balik di pantai. Atau yang juga dikenal sebagai rip current.
1. Tolong kami!
Mungkin sekitar dua puluh tahun silam, tepatnya saat aku masih duduk di bangku SD, aku dan keluarga besarku pergi ke Pangandaran.
Saat itu kami menyewa ban untuk berenang. Kau tahu? Ban hitam seperti ban dalam kendaraan itu loh.
Ya, dulu di Pangandaran, kita bisa menyewa ban seperti itu.
Aku dan tiga orang sepupuku duduk melingkar di atas ban. Kaki kami terus mengayuh dengan cara berjalan sambil memberikan dorongan pada dasar laut. Kayuh terus, kayuh, kayuh, terus sampai ke tengah. Hingga akhirnya kaki kami tak lagi bisa berpijak.
Kami pun bersantai sejenak.
Tapi, kok rasanya semakin jauh ya? Kami semakin tak bisa melihat orang-orang di pinggir pantai!
Santai yang tak lama itu mulai berubah menjadi panik.
Terlebih ketika salah seorang sepupuku mencoba turun dari ban. Wajahnya langsung berubah pucat. “Nggak napak!”, ucapnya. Kakinya tak sanggup menyentuh dasar laut.
Kami mencoba berenang ke pinggir pantai dengan berpegangan pada ban. Tapi gagal. Rasanya malah semakin jauh.
Dengan sekuat tenaga, kami berteriak.
“Tolooong!”
Sembari menangis, salah seorang sepupuku berteriak, “Tolongin sodara saya!”.
Alhamdulillah, seorang lelaki berenang menghampiri kami, dan membantu menarik kami hingga ke bibir pantai. Hingga kaki kami berhasil berpijak lagi.
Tanpa sadar, kami terbawa arus ke tengah laut karena menaiki ban. Tapi juga karena naik ban, kami bisa bertahan. Kalau tidak, kami mungkin sudah tenggelam. Ironi.
2. Tubuhnya lemas, kalau tidak Bapak pegang, mungkin dia akan tenggelam
Aku selalu bangga menceritakan kisah ini. Ini adalah sebuah kisah, tentang heroiknya sosok bapakku.
Di kisaran waktu yang sama seperti cerita pertama, yakni ketika aku masih duduk di bangku SD.
Lagi, kami berkunjung ke Pangandaran. Dulu saat aku masih sekolah, minimal setahun sekali aku dan keluarga besarku mengunjungi Pangandaran. Ya, tepatnya saat libur sekolah.
Kisah ini sebelas dua belas dengan kisah pertama. Namun, aku hanyalah orang ketiga dalam cerita ini. Ya, aku hanya seorang pemerhati.
Saat itu, aku tak paham apa yang sedang terjadi di tengah laut. Yang kutahu, Bapak tiba-tiba berenang menjauhi kami menuju ke sana. Bapak berenang seperti anjing yang sedang berenang. Entah kenapa, padahal Bapak pandai sekali berenang. Tapi saat itu gaya renang Bapak terlihat lucu.
Tak lama, Bapak kembali sambil menarik sebuah ban renang hitam (lagi-lagi ban renang). Tiga orang remaja perempuan memeluk ban itu. Tubuh mereka di dalam air, hanya tangan dan kepalanya saja yang menyembul keluar.
Rupanya, Bapak habis menyelamatkan orang!
Sesampainya di tepi pantai, mereka berterima kasih kepada Bapak sembari terlihat matanya hendak menangis.
Jadi ternyata, saat itu Bapak dan paman-pamanku sedang berenang bersama saat mereka melihat sebuah ban di tengah laut. Hanya Bapak yang berani mendekat dan menolong!
Bapak cerita, mereka tanpa sadar terseret arus ke tengah laut. Saat Bapak datang ke sana, mereka sudah lemas. Saking lemasnya, salah seorang di antara remaja itu malah sudah mau melepaskan pelukan pada bannya.
“Kalau nggak Bapak pegang tangannya, itu udah jatuh ke dalam laut”, begitu ujar Bapak.
Lucunya, saat kejadian, pakaian ibuku ada yang robek, sehingga Ibu kembali ke penginapan untuk berganti pakaian. Seolah dituntun agar tak melihat. Setelah kami ceritakan aksi heroik Bapak, Ibu bilang, “Kalau Ibu liat, nggak akan boleh Bapak pergi ke tengah laut”. Tentu saja, Ibu khawatir.
Izinkan aku berdoa dalam tulisan ini, siapa tahu banyak yang mengamini. Semoga pertolongan Bapak waktu itu, bisa menjadi penolong Bapak kelak.
Duh, mau nangis rasanya 🥲
Jika pemahamanku benar, apa yang terjadi pada kami dan ketiga remaja perempuan yang Bapak selamatkan, itu adalah ulah rip current, atau arus balik yang kuat.
Tanpa disadari, kami semakin terdorong ke tengah laut. Benar kata pepatah, air tenang menghanyutkan. Sebab itu yang kami rasakan. Tenang. Hanyut.
Tak seperti banjir bandang yang bahayanya nyata terlihat, atau seperti tsunami yang juga jelas mengerikan.
Arus balik ini begitu tenang, namun menghanyutkan.
Mungkin banyak juga kasus lain yang serupa. Makanya, sejak aku SMP, bahkan hingga sekarang pun, ban renang seperti itu sudah dilarang di Pangandaran.
Setelah dipikir-pikir dan kucoba renungkan hikmahnya, ternyata benih kebaikan yang Bapak tanam, akulah yang menikmati buahnya.
Seperti dua kisah yang kuceritakan. Pertolongan yang Bapak lakukan pada orang lain, pun aku menerimanya dari orang lain. Uniknya, kejadiannya serupa, namun tak sama. Menarik bukan?
Jadi jangan lelah menuai kebaikan. Sebab jika bukan kita yang menikmati buahnya, mungkin akan jatuh ke keturunan kita 🙂
Aku menemukan sebuah post Instagram yang merangkum segala macam tentang rip current. Mulai dari kenapa bisa terjadi, bagaimana prosesnya, bagaimana cara identifikasinya, apa yang harus dilakukan jika sudah terseret arus, dan lain sebagainya.
Untuk bekal kalau liburan ke pantai, yuk dibaca!