Siapa bilang traveling itu hanya senang-senang saja?
Buatku, semua tentang traveling itu memang menyenangkan. Namun biar kuluruskan sedikit, semua menyenangkan bukan berarti hanya senang-senang saja.
Pernahkah kau berpikir bahwa sebenarnya kita bisa belajar dari aktivitas yang menyenangkan (baca: traveling) ini?
Izinkan aku menjabarkan apa yang telah kupelajari dari hobi yang paling kusukai sejak dalam kandungan ini (loh).
1. Manajemen (Perencanaan dan Pelaksanaan)
Poin pertama, manajemen. Manajemen ini cakupannya luas. Mulai dari manajemen waktu, biaya, barang, menentukan skala prioritas, dan lain sebagainya.
Pertanyaan paling dasar ketika akan traveling: Mau ke mana kita? Kapan?
Ke mana memang lebih pada keinginan, jadi pemilihan tempatnya begitu abstrak, bisa jadi sekarang ingin ke pantai, namun di lain waktu ingin ke gunung. Bisa jadi ingin ke kebun teh sudah sejak lama, atau ingin ke cafe di tengah kota hanya karena lihat media sosial. Semua tergantung pada “perasaan” subjek. Apa yang ada dalam hati dan pikirannya, itulah yang menentukan “ke mana akan pergi”.
Lain cerita dengan kapan. Ketika seseorang memutuskan untuk pergi ke Jepang misal, tentu yang pertama jadi pertanyaan adalah: Kapan?
Mulailah buka-buka kalender, lihat jadwal libur, pilih waktu yang paling tepat, tanpa ambil cuti terlalu panjang (bagi pekerja), atau tanpa menutup usaha terlalu lama (bagi pelaku usaha), dan lain sebagainya.
Itu baru dari segi pemilihan waktu keberangkatan. Berikutnya, kita harus membuat itinerary, hari pertama mau ke mana saja, jam berapa harus tiba di bandara, berapa lama perjalanan dari tempat A menuju tempat B, kendaraan apa yang harus digunakan, harus bawa apa saja? Dan lain sebagainya.
Lalu harus menghitung biaya yang diperlukan. Berapa kira-kira total biaya transportasi, berapa total biaya hotel atau penginapan, berapa total biaya untuk makan, jajan, membeli oleh-oleh, dan lain sebagainya. Setelah dapat gambaran biaya yang diperlukan, timbul lagi pertanyaan, apakah sebaiknya pakai uang tunai, kartu debit, kredit, paylater, atau opsi pembayaran lainnya selama perjalanan.
Kemudian barang. Perlukah bawa mantel tebal? Perlukah bawa travel adapter? Bolehkah bawa makanan tertentu? Dan lain sebagainya.
Rumit bukan? Menurutku itu semua bisa mengasah kemampuan manajemen perencanaan. Bagaimana tidak? Kita dituntut untuk berpikir dalam merencanakan sesuatu.
Mari kita simulasikan. Andaikata pesawat berangkat pukul 04.00, maka kita harus berpikir, pukul berapa sebaiknya berangkat dari rumah? Naik apa? Amankah perjalanan dini hari? Atau sebaiknya menginap saja dekat bandara? Jika menginap, berapakah biayanya? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya akan terus bermunculan.
Memang, beberapa aktivitas traveling tak perlu perencanaan matang. Misal, ketika sedang suntuk, impulsif pergi ke kafe, atau sekadar keliling kota naik motor, dan lain sebagainya. Tapi untuk perjalanan jauh, terlebih untuk jangka waktu yang lama, tentu perlu perencanaan. Terkadang bahkan diperlukan rencana cadangan.

Lanjut lagi ke tahap berikutnya, saat pelaksanaan.
Kita dituntut untuk mematuhi itinerary yang kita buat, agar perjalanan berjalan lancar dan sesuai yang diharapkan. Saat kita merencanakan berangkat pukul 08.00, maka saat hari keberangkatan, jauhkan segala macam distraksi agar bisa fokus bersiap. Usahakan sebagian persiapan sudah dilakukan dari malam sebelumnya, seperti menyetrika pakaian yang akan dipakai, menyiapkan barang yang akan dibawa, dan keperluan lainnya. Agar saat persiapan pagi tidak terburu-buru, dan maksimal pukul 08.00, kita benar-benar bisa berangkat.
Tentu saja, meskipun semua sudah direncanakan dengan matang, mungkin akan ada satu, dua, atau lebih kondisi yang di luar perencanaan. Itu akan kita bahas nanti.
2. Kemampuan Mencari Informasi
Poin ini erat kaitannya dengan poin pertama. Sebab untuk menjawab semua pertanyaan di poin pertama, kita harus punya kemampuan untuk mencari informasi.
Misal, kalau punya anggaran 5 juta untuk tiket pesawat ke Jepang, maka harus pintar-pintar cari promo. Misalnya booking lewat travel fair, atau pilih tanggal saat low season supaya tiket lebih murah.
Contoh lainnya, sebelum berangkat ke suatu tempat yang asing, sebaiknya kita cari tahu apa yang boleh dan tak boleh dilakukan di tempat tersebut. Misalnya, ada larangan untuk menghina raja dan keluarga kerajaan di Thailand. Tak main-main, ini ada hukumnya loh, bisa berujung pada kurungan penjara kalau kita sembrono.
Informasi-informasi ini harus dicari. Bisa lewat sharing atau browsing.
Beberapa orang lebih suka mencari lewat sharing, bertanya pada teman yang lebih berpengalaman. Beberapa lainnya lebih senang mencari lewat browsing, baca buku atau berselancar di internet. Tak masalah, yang mana saja boleh, asal dapat dipastikan sumber informasinya terpercaya.
Percaya deh, kemampuan mencari informasi akan meningkat saat traveling. Mulai dari tahap perencanaan, hingga pelaksanaan.
3. Pengendalian Emosi
Orang bilang, sifat asli seseorang akan terlihat saat bepergian. Janganlah menilai orang lain dulu. Coba kita berkaca pada diri sendiri. Ketika dihadirkan masalah saat kita bepergian, bagaimana kita menyikapinya? Bisakah kita tetap tenang, sehingga satu masalah bisa dilalui tanpa ada tambahan masalah lain? Ataukah panik mengambil alih, sehingga masalah semakin rumit?
Tak semua berjalan seperti yang kita harapkan. Ada saja hal-hal di luar kendali kita, yang mau tak mau harus kita terima.
Aku pernah dipanggil lewat pengeras suara di Bandara Haneda, lantaran dianggap ada benda berbahaya di dalam koperku. Kaget? Tentu saja. Panik? Oh jelas. Takut? Bagaimana tidak. Aku berada di negeri orang yang bahasanya pun tak aku mengerti.
Skenario-skenario buruk terlintas di kepalaku. Tapi aku harus mencoba tetap tenang, walaupun hati bergejolak.
Pernah juga satu waktu, aku dan temanku nyasar saat akan mengunjungi Dotonbori. Kami berjalan berputar-putar hingga berkilo-kilometer jauhnya.
Kesal ada, bete ada. Tapi sayang dong, kalau jalan-jalan yang seharusnya menyenangkan, malah diisi oleh perasaan negatif. Jadi kami tertawa saja, menertawakan kekonyolan kami. Kok bisa nyasar? Padahal sudah lihat peta. Pada akhirnya hari tersebut ditutup dengan bahagia. Capek sih, tapi kami senang. Toh itu yang penting 🙂
4. Belajar Bersosialisasi
Adakah yang tidak setuju dengan frasa “manusia adalah makhluk sosial”?

Mau se-introvert apapaun manusia, pada akhirnya tetap harus bersosialisasi. Sosialisasi tak melulu tentang perbincangan panjang, atau hang out bareng berjam-jam. Sekadar beli garam di warung pun, itu juga sudah bersosialisasi.
Sama halnya dengan di tempat baru. Tak mungkin kita melakukan aktivitas di suatu tempat, tanpa berinteraksi dengan manusianya sedikitpun.
Traveling mengajarkan itu.
Interaksi saat membeli tiket, saat bertanya tentang informasi yang dibutuhkan, atau ingin mengobrol dengan penduduk lokal. Buatku yang ambivert, semua kegiatan itu membutuhkan keberanian. Tak mudah mencoba bertanya, apalagi menggunakan bahasa yang bukan kita gunakan sehari-hari. Butuh kepercayaan diri. Takut salah tentu ada. Tapi kalau menuruti ketakutan itu, ya sudah, kita jalan di tempat.
Ya, traveling mengajarkanku untuk berani bersosialisasi.
5. Belajar Hal-hal Baru

Dengan traveling, kita bisa belajar hal-hal baru. Kita bisa belajar bahwa tak semua orang berpandangan sama seperti kita. Kita bisa belajar bahwa tak semua orang harus makan nasi. Kita bisa belajar bahwa gaya hidup setiap orang berbeda. Kita bisa mempelajari, kebiasaan apa yang dilakukan orang-orang Jepang hingga negara tersebut bisa begitu maju.
Memang, smartphone dan koneksi internet juga sudah bisa menyediakan informasi ini. Tak perlu langsung ke Jepang untuk tahu kalau orang Jepang suka jalan kaki. Bisa baca lewat buku, lihat lewat youtube, atau dorama dan anime Jepang, dan lain sebagainya.
Tapi tentu akan berbeda ketika kita merasakan suatu tempat dengan kelima panca indera kita.
Waktu duduk di bangku STM, aku sekelas dengan teman-teman yang gemar beribadah. Sedikit banyak aku terbawa arus. Ikut salat Duha, ikut tadarus Al-Quran, hingga rajin ikut kajian.
Sama halnya dengan traveling. Ketika ke Jepang, minimal aku berjalan 10 km per hari. Tapi rasanya biasa saja, sebab sebagian besar orang Jepang memang gemar jalan kaki. Aku sebagai turis jadi ikut terbawa kebiasaan mereka.
Ketika kembali ke apartemen, barulah kaki terasa pegal😅

Itulah sedikit gambaran hal-hal yang bisa kupelajari saat traveling. Pasti akan berbeda antara satu orang dan yang lainnya.
Tujuanku menyampaikan ini adalah, aku ingin bilang bahwa traveling bukan hanya senang-senang saja. Bukan juga hanya buang-buang uang saja. Ada hal yang bisa diambil, ada hal yang bisa dipelajari.
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahi lah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
QS. Al-Mulk: 15